when my world is gray

when my world is gray
kali kuning Yogyakarta

Rabu, 11 September 2013

Peta di atas bantal

Angin malam sudah mulai menusuk sendi, namun kamu masih tak bergerak dari kursi rotan tua itu.
Selesai menyesap kopi dingin yang sudah terlihat ampasnya, kemudian kamu menatapku sebentar.
"kalau sudah ngantuk tidur saja"
"iya sih, ngantuk... tapi mau berangkat tidur sendiri kok ya males"
"biasanya juga tidur dulu, tumben amat manja"
"ya masih males aja mas, udah mapan duduknya"
"udah lama kamu ga panggil aku mas, kamu benar-benar aneh malam ini"
"lha kan biasanya ada anak-anak, sekarang kan tinggal kita berdua disini"
"buk, kamu nyesel ndak to nikah sama aku?"
"lha sampeyan kok aneh nanyanya... kalo nyesel ya ngapain kita masih duduk rukun begini to pak"
"hehe.. ya iseng saja, siapa tau kamu selama ini hanya mau buktiin kalo kamu itu istri dan ibu yang baik"
"ah ono-ono wae, sampeyan"
"buk, sebelum kamu ketemu aku... sempet punya penginan suami yang kayak gimana?"

sedikit kaget dengan pertanyaan aneh suamiku ini, namun aku sudah siap menjawab. Jawaban yang sudah aku persiapkan bahkan jauh sebelum aku bertemu suamiku.

"aku... pengin suami yang selalu nemani aku kemanapun, 
yang selalu gandeng tanganku kalo di keramaian apalagi kalo pas nyebrang jalan,
aku pengin suami yang bisa paham kepinginku tanpa aku jelasin panjang-panjang,
aku pengin orang yang bisa selalu bikin aku tertawa, mau sedih mau seneng, dia selalu bisa bikin aku tertawa,
aku mau suami yang bisa diajak jalan jauh, mau diajak naik gunung berbekal tas ransel dan makanan seadanya, yang ikut bersorak saat melihat pantai, yang mau kejar-kejaran di gang sempit di kawasan kumuh Manila, yang berbisik lirih di telingaku, mengatakan 'ini mekahnya para pengembara' saat kami memasuki Kathmandu, yang menggendongku dengan susah payah saat aku mimisan karena dingin dan lelah menyusuri jalanan sepi Poznan. 
Aku mau suami yang bisa bilang padaku bahwa dunia yang luas itu justru dapat digambarkan dari kamar dalam flat mini, dimana aku bisa menggambarkan peta perjalanan kami di atas bantal, kemudian menandai dengan spidol tiga warna, hijau untuk yang sudah kita lewati, biru untuk yang kita rencanakan, dan merah, tempat yang sekiranya akan kami tinggali sampai mati.
Herannya, spidol merah itu tidak pernah digunakan, mungkin kami sudah menetap di hati masing-masing, merahnya sudah alami."

Kamu tersenyum kecil, tak terbaca apa yang kau pikirkan.
"berarti kamu ga bahagia sama aku? karena aku ga bisa memenuhi semua yang kamu inginkan dulu"

"kamu ga tanya apa yang aku inginkan saat aku bertemu denganmu?"

Kamu mendongak, raut wajahmu ragu
"apa yang kamu inginkan?"

"Setelah aku bertemu denganmu, aku selalu pengin suatu saat kita duduk di teras rumah, nemeni kamu menghabiskan kopi, membahas uban-uban kita, atau gigi ompongku...

 seperti sekarang ini."


Dan sisa malam itu kita habiskan dalam diam, namun kita sama-sama tersenyum dalam.