when my world is gray

when my world is gray
kali kuning Yogyakarta

Rabu, 13 Februari 2013

Buat @arievrahman

SELAMAT BERUMUR 27 MUHAMMAD ARIF RAHMAN!

Katanya 27 itu merupakan tanda kedewasaan, kali ini kamu kudu percaya sama aku wong aku dah duluan mengalami 27 daripada kamu.

Duh kalo kisah pertemanan kita yang kalo ga salah tahun ini menginjak angka 16 (astaga! Setengah hidup kita!) diceritain di sini pasti ga akan selesai dalam waktu seharian.

Aku ndak akan pesen banyak-banyak buat kamu wong kamu juga udah gede plus kalau ada apa-apa yang mau disampaikan ya aku tinggal bilang aja toh mdak perlu nunggu pas hari ulang tahun kamu.

Aku cuma pesen tetep jadi Arif Rahman yang aku kenal 16 tahun lalu, yang periang, yang lugu, yang tetep alim (definisi alim bisa kita bicarakan lagi).

Nah masalah jodoh wes percaya sama aku, pasti juga dapat kok. Sementara nunggu jodohmu itu kamu pasti sudah tau kan gimana caranya nyenengin diri sendiri.

Makasih udah jadi sahabat, temen curhat, keluarga, guru traveling dan lain-lainnya.

Wes pokoe buat aku kamu tu temen yang ga ada duanya.

Wes ya ngono wae.. Sby g kalo ketemu langsung aja.

*hugs*


Sahabatmu,


@nevanov


- Posted using BlogPress from my iPhone

Sabtu, 09 Februari 2013

Zona nyaman yang harus kutinggalkan

Lagi, tulisan ini dibuat setelah baca salah satu judul di bukunya Henry "tentang eat, pray, & love dan pencarian diri"
(I hate you Piring for being so insighful)

Hari ini kurang lebih tiga minggu menjelang kepindahan gue ke Kalibata City, apartment (rumah susun) yang terkenal dengan jalanannya yang super macet di wilayah Jakarta Selatan.

Saat memutuskan untuk pindah, semua orang bertanya hal yang sama "kan macet banget, kan jauh dari mana-mana, kan padat penduduk gitu, dll"

Gue sendiri sudah beberapa kali ditawari untuk pindah ke Kalibata dari sejak tahun lalu, entah mengapa gue selalu menolak. Benar memang, kosan gue yang sekarang ini dah termasuk senyaman-nyamannya tempat tinggal. Berada di tengah kota, kemana-mana deket, mau ke tempat nongkrong tinggal jalan bentar, mau nonton bioskop tinggal ngesot, deket sama kantor, deket halte trans jakarta, deket pangkalan taxi, duh pokoknya enak banget! (Jadi berat lagi mau pindah-halah)

Tapi mungkin karena semua kenyamanan itu, akhirnya gue memutuskan buat menerima ajakan teman untuk tinggal di Kalcit (Kalibata City) tahun ini. Gue merasa gue sudah masuk zona nyaman, zona yang seharusnya dihindari buat orang-orang yang tidak pernah puas dan masih pengin terus maju.

Kebetulan, hal teraebut dibahas sama Henry di bukunya, ada quote asik
kehadiran sesuatu yang familiar, yang sering dilihat, membutakan mereka terhadap solusi lain yang lebih baik
dan ada lagi
upaya keluar dari "familiar zone", dan membantu membebaskan otak untuk berpikir yang berbeda


Intinya, kalo gue terus berada di tempat tinggal gue yang sekarang, gue ga akan bisa "berkembang secara progresive" istilah yang gue bikin sendiri :p

Karena apa? Karena pindah dan meninggalkan kebiasaan itu ga mudah, kemampuan adaptasi kita diuji, dan makin cepat kita beradaptasi, makin bisa kita bertahan dalam dunia kejam ini (lebay dikit).
Dan makhluk yang akan terus bertahan di muka bumi adalah mereka yang mampu beradaptasi.
Ditambah kalau kita hanya lihat yang itu-itu saja setiap hari, ga akan banyak hal baru yang akan dapat kita pelajari.
Mungkin kalau sekarang gue terbiasa bangun siang dan kemana-mana naik taxi karena deket, siapa tahu dengan di Kalibata gue bisa bangun lebih pagi dan berjuang masuk kereta bersama para pejuang korporat lainnya.

Dengan dasar itulah, gue memutuskan untuk keluar dari zona nyaman demi meningkatkan kemampuan adaptasi gue.

Kalau mau melihat kebelakang, gue sudah beberapa kali keluar dari zona nyaman, berawal dengan kepindahan gue ke Jakarta untuk bekerja, meninggalkan rumah yang nyaman serta keluarga yang jaga gue setiap hari, dan menggantikannya dengan kehidupan mandiri menjadi anak kos di ibukota yang terkenal lebih kejam dari ibu tiri.

Mengawali tinggal di Jakarta di sebuah lokasi nyaman daerah Kemang, ga lama harus pindah ke Kuningan agar lebih dekat dengan kantor, dan setelah dua tahun hidup dengan nyaman gue memutuskan pindah ke Kalcit.
Dengan berbekal keyakinan, dan tambahan pesan seorang teman "nanti kamu bakal menemukan kenyamanan baru di sana (Kalcit)" gue memantapkan hati.

Setelah ini, apakah gue akan terus mencari dan kemanakah?

Hanya waktu yang tahu jawabannya :)


- Posted using BlogPress from my iPhone

Father to Son, Son to Father

(The porch. Dusk. Drizzling rain.)

Son: "Dad, why we have to gone through a linear life? Go to school, find a decent work, getting married, having children, being old, and finally death. It's cliche, no?"
Father: "Our life is purposive. There are meanings in Creation."
S: "So, does it mean that the Creator is as boring as life itself? That the purpose of our life is to seek the hidden meanings behind boredom? It's futile, Dad."
F: "Son, I have gone through more than half of linear life that you mentioned before. Many times I find boredom too. But I will always return to the Creator and find unexpected insights."
S: "Dad, it's still boring. You are just adding one more step in between the linear path of life. But it's still linear: go to school, contemplation on the Creator, find a decent work, contemplation on the Creator, getting married, and so on and so forth..."
F: "Sorry that I can't be a good Dad who can respond to each of your questions. But I believe that contemplation is useful. That's how I can keep on going with this tough life."
S: "I agree that contemplation is useful. But just because something is useful, it doesn't mean that we can't breakout from the linearity. Let me propose something concrete: let's reverse our role, you as the Son, and me as the Father. Or maybe let's erase our titles, no more Father and Son. After that, we can see whether we can find another point of view about the linearity of our life."
Father and Son: "..."

(So, who is actually the Father and the Son?)




email from a friend in a boring night
My room, 10:34pm

Jumat, 08 Februari 2013

Menikah sebagai solusi?

Tulisan ini dibuat karena kegenggesan gue dalam menghadapi beberapa orang sekitar gue.

Akhir bulan Januari seorang teman bercanda dan mengatakan "mba Eva, tahun 2013 sudah berkurang satu bulan lho"
Maksud dia adalah : deadline dengan "waktu pernikahan ideal" sudah lebih dekat lagi.
Ya karena gue cewek berusia 27 tahun yang hingga tulisan ini dibuat belum menikah dan bahkan belum menampakkan tanda-tanda akan segera menikah, seperti halnya orang tua dan saudara, temen-temen gue juga sudah merasa gusar dengan status gue ini.

Pertanyaannya "kenapa justru orang lain yang gusar sedangkan guenya santai-santai saja?"

Sebenarnya kalau dibilang gue anti pernikahan pasti juga salah besar, bagaimanapun juga gue pengin menikah, masalahnya kalau memang belum menemukan seseorang yang "pas" menurut diri sendiri, terus apa ya mau dipaksa?

Masalahnya di budaya timur, orang-orang sudah terjebak oleh konstruksi sosial, dimana cewek harus menikah sebelum usia 30 tahun lah, cewek harus nurut suami lah, penghasilan suami harus lebih besar dari istri, dsb.
Ditambah kesan yang ditimbulkan orang-orang sekitar bahwa jomblo itu kaum-kaum tersesat yang harus segera dibantu, belom lagi kalimat-kalimat yang ga jelas maksudnya apakah memuji atau menghina seperti "cantik-cantik kok jomblo?" Atau "masa orang seperti kamu ga ada yang mau?" Yang makin bikin gengges.

Seminggu ini gue sakit flu, sudah beberapa pil ditelan tetap saja penyakit membandel, mungkin karena gue belum sempat beristirahat total selama sakit karena terus masuk kerja.
Dan seorang teman kembali bercanda usil "mbak, itu mungkin itu suatu pertanda, bahwa mbak harus segera menemukan jodoh"
Spontan gue langsung memberikan pertanyaan balasan "memang jodoh itu sehebat nabi? Sehingga selalu menjadi solusi atas semua permasalahan hidup gue?"
Sakit suruh nikah, stress suruh nikah, sedih suruh nikah, miskin suruh nikah.
Lah.. Emang nanti suamiku pasti seorang yang punya segala-galanga sehingga bisa memberi semua solusi? Yakin darimana bahwa setelah menikah nanti ga akan ada permasalahan lanjutan?

Jadi teringat kata-kata seorang teman (sebut saja Joseph Sudiro) melalui tweetnya yang kira-kira begini bunyinya "tren masa kini, selesaikan semua masalah denan menikah" sebuah tweet sarkas menanggapi fenomena "keharusan menikah" akhir-akhir ini.

Gue percaya, pada saat seseorang siap untuk bertemu jodoh pasti juga akan menikah.
Masalahnya, kadang kita sendiri ga tau kapan kita siap menikah. Kadang sudah merasa siap tapi ga juga bertemu jodoh, ya mungkin Tuhan (sebagai makhluk percaya Tuhan) menganggap kita belum siap untuk ditemukan dengan jodoh.
Nah kalau Tuhan saja menganggap kita belum siap, ya masa trus orang lain mau memaksa menikah?

Terus kalo menikah karena tekanan orang sekitar dan kemudian tidak bahagia siapa yang mau tanggung jawab? Orang-orang?

Lalu akan ada kalimat susulan "lha tapi kalo ga berusaha ya mana mungkin bertemu dengan jodoh"

Jawaban gue buat kalimat seperti itu "emang kamu tahu seberapa jauh usahaku? Emang kamu terus mengikutiku 24 jam sehingga bisa berpendapat seperti itu?"
Kesiapan orang sendiri-sendiri dan tidak sama, plus kesiapan bukan hanya sekedar memperbaiki diri dan memperbanyak koneksi, banyak hal yang harus dilakukan, dan tentunya tidak dalam waktu singkat. Jadi sebaiknya jangan sok tahu. :)

Seperti yang ditulis oleh Henry Manampiring dalam bukunya "cinta tidak harus mati" bahwa terdapat yang namanya Emergent System dalam cinta, bahwa sebuah permasalahan bisa terdiri dari banyak faktor, dan penyelesaiannya tidak bisa dari satu elemen saja, begitu pula soal mencari jodoh.
Mungkin bukan hanya kesiapan, tapi bisa juga waktu yang tepat, orang yang tepat, keadaan yang tepat, lingkungan yang tepat. Kalau faktor-faktor tepat tadi belum lengkap, ya jangan dipaksa.

Intinya, jangan memburu-buru orang untuk segera menikah, kamu tidak tahu apa saja yang telah mereka usahakan untuk itu.

Masih ditulis oleh Henry dalam bukunya "Love favors the prepared, cinta berpihak kepada mereka yang siap" :)



My room,11.53 bedrest (literally)


- Posted using BlogPress from my iPhone